Mereka beraksi bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga kepentingan orang banyak, terutama kaum terpinggirkan. Mereka berhasil menjadi salah satu bagian mahasiswa berkualitas. Dengan segala curahan buah pikir, keringat, dan pengorbanannya, menjadikan “rujukan” mahasiswa melanjutkan gerakan peubah tersebut. Bila berbicara sejarah mahasiswa, dari sebelum Indonesia merdeka hingga terakhir tahun 1998 pasca runtuhnya rezim orde baru, sepanjang masa itu, ingatan kita akan terperanjat pada sebuah pergolakan raksasa akibat gerakan ribuan mahasiswa. Dari berbagai pelosok negeri zamrud khatulistiwa ini, mereka semua bersatu danbenar-benar mengedepankan kepentingan rakyat banyak.
Bahkan, tidak sedikit darimereka yang meninggal dunia akibat aksi yang dilakukannya demi melawan ketidak adilandi bawah kuasa rezim kala itu. Alhasil, saking berkualitasnya mahasiswa, jabatan Presiden Republik Indonesia (RI) yang telah disandang Suharto selama 32 tahun lamanya itu pun bisa mereka tumbangkan. Tapi, lihatlah saat ini, hari ini,detik ini, pergerakan mahasiswa mengalami kemerosotan yang begitu kentara. Jangankan meneriakkan keadilan, mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya pun belum tentu. Bahkan bisa saja, tahu permasalahannya sendiri puntidak. Mahasiswa memilih bungkam. Menyadari terdapat berbagai kebobrokan moral dan nilai di sekitarnya, tapi berpikir, itu bukanlah tanggung jawab mereka. Yang pada ujungnya, menjadikan mereka sosok yang apatis. Mahasiswa sudah dibuat nyaman dengan segala sesuatu yang serba instan. Apa peduli mereka terhadap para pejabat pemerintah negeri ini yang korupsi? Mereka hanya sibuk dengan kehidupannya sehari-hari. Sibuk dengan tumpukan buku-buku, bangku kuliah, dan kepentingan pribadi. Sibuk berkutat memikirkan bagaimana cara agar cepat lulus “tanpa belajar”, dan berharap mendapat pekerjaan yang layak dikemudian hari. Sibuk memikirkan penampilan, dan gaya hidup hedonis, sementara di sekitarnya masih banyak kelaparan, kebodohan, dan kemelaratan. Memang ada dari sebagian mahasiswa yang mengatasnamakan rakyat kecil, memperjuangkan hak rakyat.
Tapi sayangnya, nyatanya mahasiswa tersebut hanya ingin memenuhi kepentingan pribadi dan atau warna golongan tertentu. Baku hantam, bakar ban, blokade akses jalan, seolah itu semua yang mereka dapat di bangku kuliah. Masyarakat bukannya merasa aman dan terbantu dengan adanya mahasiswa, tapi justru merasa semakin resah dengan “kelakuan” mahasiswa yang tidak mencerminkan kaum intelektual. Apakah ini yang disebut maha-siswa? Mahasiswa kian tak peduli dengan apa yang menjadi tugas utamanya, agar menjadi seorang cahaya pertama yang memberikan penerangan bagi masyarakat.
Mahasiswa sudah lupa dengan tugasnya sebagai agent of change. Sebenarnya, apakah mahasiswa sekarang sudah pantas disebut sebagai agent of change, social control, dan iron stock? Ketika “jati diri mahasiswa” seolah telah mati, tidak peka, dan seakan menutup matadan telinga menyaksikan berbagai masalah sosial yang membuncah. Tapi untunglah, citra mahasiswa tidak seburuk yang dibayangkan. Masih bisa kita jumpai mahasiswa yang tetap memegang teguh “jati diri” dan tetap menjalankan tugasnya sebagai agentof change. Lalu, sebagai mahasiswa, apa yang harus kita lakukan melihat kondisi “mahasiswa” saat ini yang memperihatinkan. Apakah kita termasuk ke dalam mahasiswa yang lupa akan tugasnya, atau tidak? Tidak ada alasan untuk mencoba melarikan diri dari kenyataan ini. Kita harus hadapi, berani ambil tantangan, dan berani menjadi agent of change yang bisa merubah kultur mahasiswa yang “taksemestinya”.
Mulailah dari sekarang menjadi mahasiswa aktif, peduli sesama, berbaur dengan masyarakat, serta membudayakan diskusi. Dengan seperti itu, semoga saja, mahasiswa benar-benar pantas menerima mahkota gelar generasi harapan bangsa, dan menjadi cahaya penerang bagi kegelapan yang ada.
Tarogong-Duapuluh,Maret2013-Tengah malam - See more at: http://nasmi7.blogspot.com/2013/04/kemerosotan-kualitas-kelakuan-mahasiswa.html#sthash.3Ch0QA5h.dpuf
Posting Komentar